Konsultan properti JLL Indonesia menjelaskan penyebab menurunnya volume investasi properti komersial di Asia Pasifik pada akhir 2023.
Kegiatan investasi properti komersial di kawasan Asia Pasifik menurun sebesar 22% secara tahunan (YoY/year on year) pada triwulan (tiga bulan) ketiga tahun 2023.
Menurut data dan analisis JLL, hal ini merupakan pencapaian terendah secara triwulan (kuartal) sejak kuartal kedua 2010 silam.
Investasi properti di Asia Pasifik turun menjadi US$21,3 miliar (Rp329 triliun) seiring berlanjutnya kontraksi tajam pada volume investasi di sektor perkantoran dan ritel.
Sementara itu, sektor industri dan logistik serta sektor hunian dan multifamily tetap bisa kuat dalam menghadapi semua hal tersebut.
“Meski gagasan untuk kembali bekerja di kantor terus menguat dan tingkat hunian yang rendah di banyak pasar, para investor umumnya tetap lebih berhati-hati terhadap sektor perkantoran,” ujar CEO Asia Pacific Capital Markets JLL Stuart Crow seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima oleh Investasiproperti.id.
“Biaya utang yang tinggi juga memberikan tekanan repricing (penentuan harga) dan sebagian besar pasar masih berada dalam mode pencarian harga saat investor menyesuaikan target return untuk akuisisi,” lanjutnya.
“Kami tetap yakin dengan daya tarik jangka panjang dan ketahanan pasar real estat komersial Asia Pasifik, namun kami tetap realistis bahwa para investor mencari kepastian lebih lanjut mengenai harga dan situasi makroekonomi,” katanya lagi.
Volume Investasi Properti Komersial di Asia Pasifik Menurun, China Menjadi Pasar yang Paling Aktif
Sepanjang triwulan ketiga, China muncul sebagai pasar paling aktif di kawasan Asia Pasifik dengan volume investasi melawan tren penurunan.
Volume investasi properti di China mencapai US$4,7 miliar (Rp72,6 triliun), naik 43% secara year on year pada saat keikutsertaan investor asing yang masih terbatas.
Bagi investor domestik dan korporasi, sektor industri dan logistik serta aset yang dilengkapi dengan riset dan pengembangan menjadi sasaran penerima utama modal.
Di Hong Kong yang juga salah satu kota bisnis terkemuka di China, aktivitas investasi mencapai US$0,8 miliar (Rp12,3 triliun), naik 15% secara YoY.
Sebagian besar transaksi di Hong Kong terdiri dari penempatan modal sekaligus tetapi dalam jumlah kecil yang melibatkan aset dengan strata-title untuk penggunaan pribadi.
Jepang mencatatkan volume investasi properti sebesar US$4,1 miliar (Rp63,4 triliun) dengan pertumbuhan positif sebesar 3% YoY.
Sektor industri dan logistik menjadi sektor yang aktif dalam pasar Jepang dengan dua akuisisi portofolio yang mencolok oleh investor domestik.
J-REIT yang mengakuisisi portofolio hotel seiring pemulihan pariwisata yang cepat dan kenaikan harga kamar hotel.
Sedangkan Korea Selatan berhasil membukukan transaksi senilai US$4,2 miliar (Rp64,9 triliun, meski terbilang besar tetapi turun tajam sebesar 35% YoY.
Penyebabnya investor domestik memakai sebagian besar dana investasi mereka, bersamaan dengan volume kantor yang mengecil akibat sentimen yang surut di kalangan investor inti global.
Volume Investasi di Australia Menurun Tajam
Lantas bagaimana dengan volume investasi di Australia? Hmm, ternyata merosot sebesar 47% YoY menjadi US$3,8 miliar (Rp58,7 triliun).
Pasar investasi tetap lambat lantaran proses penentuan harga terus berlanjut saat perubahan biaya pendanaan yang cepat.
Ada perubahan alokasi ke aset industri dan logistik dan hunian mahasiswa dengan keyakinan yang tumbuh pada sejumlah sektor ini.
Volume investasi Singapura mengalami penurunan sebesar 11% menjadi US$2 miliar (Rp30,9 triliun) dengan akuisisi yang mencolok di sektor hotel dan perhotelan serta ritel.
“Di wilayah ini, siklus kenaikan suku bunga mendekati akhirnya, Reserve Bank of New Zealand dan Bank of Korea kemungkinan besar akan mengakhiri kebijakan moneter yang ketat sementara Reserve Bank of Australia mungkin masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukan,” ujar Kepala Intelijen Investor, Asia Pasifik, JLL Pamela Ambler.
“Oleh karena itu, suku bunga regional tetap kini sangat mirip dengan suku bunga mengambang, kecuali Jepang yang berencana untuk bergerak menuju normalisasi kebijakan,” lanjutnya.
“Saat kita mendekati akhir tahun 2023, investor akan menimbang biaya modal yang tinggi melawan lingkungan makroekonomi yang tidak pasti,” kata Pamela lagi.
“Dengan keputusan mendatang dari Fed mengenai penyesuaian suku bunga, kita juga dapat mengharapkan aktivitas investasi meningkat seiring dengan penurunan biaya utang,” pungkasnya.
Inilah penjelasan JLL mengenai penurunan volume investasi properti komersial di Asia Pasifik terutama di negara-negara utama.
Situs Investasiproperti.id selalu menghadirkan konten dan berita menarik mengenai kawasan industri, perhotelan, pergudangan di Asia Pasifik.